Sumber: Instagram @irvinejasta
Di jalanan Jakarta–Bandung, gaya anak motor udah nggak berhenti di jaket denim dan sepatu kulit doang. Ada satu elemen yang makin lama makin nyala: helm custom. Bukan cuma pelindung kepala, tapi karya seni portable yang bisa lo bawa ngebut di jalan.
Salah satu nama yang kenceng banget di skena ini: Irvine Jasta. Seorang graphic designer dan custom painter yang udah wara-wiri sampai ke Yokohama, Bangkok, sampai Art of Speed Malaysia. Kita ngobrol santai soal gimana dunia helm custom berkembang, apa yang bikin orang jatuh cinta sama repaint, sampai kenapa custom culture di Indonesia justru bisa jadi yang paling hidup di Asia.
Dari Safety Gear ke Kanvas Sirkular
Semua berawal dari sebuah acara bernama Barbecue Ride—event custom culture yang sekarang udah berumur 13 tahun. Dari situ, Irvine baru ngeh bahwa helm itu bisa berubah jadi kanvas berjalan.
“Dari Barbecue Ride itu gue lihat kalau helm tuh bisa jadi identitas. Lo bawa karya lo kemana-mana, nggak cuma digantung di tembok,” ceritanya.
Background-nya sendiri dari desain grafis, tapi di sepanjang perjalanan karier, dia terus main di dua dunia: digital illustration dan traditional painting. Sampai akhirnya, undangan eksibisi dan live painting dari berbagai negara bikin fokusnya condong ke custom helmet.
Kalau lo pikir melukis helm itu cuma kayak ngecat kanvas kecil, Irvine bilang: nope.
“Yang bikin beda ya bentuknya. Helm itu bulat, dan tekniknya beda banget sama canvas atau mural,” jelasnya.
Di atas media sferis begitu, teknik yang paling ia percaya adalah hand painting dan pinstriping. Lebih stabil, lebih bebas, lebih bisa ngulik. Apalagi kalau helmnnya udah di-full repaint, garis-garis halus jadi lebih ‘nempel’ dengan clean.
Buat Irvine, setiap helm punya cerita. Makanya prosesnya hampir selalu dimulai dari ngobrol:
“Biasanya klien ngobrol dulu. Gue tanya mereka maunya apa, terus kita discuss. Kalau udah ketemu gambar atau lettering yang pas, baru gue kerjain,” katanya.
Kombinasi dialog, karakter klien, sampai vibe yang mereka bawa biasanya jadi pondasi desain akhir.
Estetika Lowbrow dan Lettering Bebas
Kalau lo sering lihat helm karya Irvine, lo bakal notice warna-warna terang yang *ngejewer mata*, monster-monster lowbrow, dan lettering yang kesannya bebas tapi tetap rapi.
“Referensi gue banyak dari lowbrow custom culture. Gue suka gambar monster, warna cerah, yang eye-catching. Terus lettering dari tattoo culture dan freestyle lettering. Lebih bebas aja,” jelasnya.
Estetikanya memang kebentuk dari budaya custom, tapi selalu kasih ruang buat improvisasi.
Ngomongin tantangan, Irvine langsung cerita, ada satu proyek yang sampai sekarang masih jadi kenangan:
“Waktu itu gue bikin hand painting dan pinstriping untuk kurang lebih 30 helm. Deadlinenya mepet karena ini helm kolaborasi. Alhamdulillah kelar juga,” katanya.
Kalau bagi orang biasa, pegang satu helm aja udah cukup bikin pusing, Irvine ngelarin 30. Gila.
Soal Safety: Repaint Bikin Helm Lebih Bahaya?
Ini kekhawatiran paling umum di kalangan rider: “Kalau helm gue dicat ulang, masih aman nggak?” Irvine jawabnya tenang:
“Repaint nggak ngaruh. Safety helm itu dari bahan dasarnya. Kalau dia udah SNIK atau udah diuji profesional, dilukis atau nggak ya tetep aman.”
Yang penting, repaint dilakukan dengan teknik yang benar dan nggak merusak shell. Itu yang jadi standar kerjaannya.
Irvine percaya kalau brand helm lokal itu justru paling aman buat dilukis, karena materialnya stabil dan harganya terjangkau. Tapi kalau bicara yang paling riskan?
“Ya helm-helm impor yang harganya fantastis. Ngerjainnya harus super fokus dan lebih lama,” akunya.
Makes sense: salah garis sedikit, deg-degannya bisa bikin gemeter seminggu.
Yang bikin Irvine bangga adalah perkembangan dunia custom helmet di Indonesia.
“Custom culture di sini sangat berkembang. Kita punya painter paling banyak dibanding negara lain yang custom culture-nya juga maju,” katanya.
Kalau tren global naik-turun, di Indonesia justru stabil dan terus hidup. Selama komunitasnya hangat, industri ini nggak akan mati.
Nextnya: Mau Ke Mana Sih Custom Helmet?
Irvine nggak mau muluk-muluk. Selama ekosistemnya sehat, selama anak motor tetap punya ruang untuk berekspresi lewat gear yang mereka pakai, dunia custom helmet akan terus jalan.
“Selama custom culture masih hangat, industri ini bakal ada terus,” tutupnya.
Kesimpulannya? Custom helmet bukan lagi sekadar safety gear. Ini cerita, identitas, warna favorit, monster gila, bahkan kadang curahan hati. Dan lewat tangan orang-orang kayak Irvine Jasta, ekspresi itu jadi karya yang beneran hidup di jalanan.
Kalau lo lagi mikir buat repaint helm lo, tenang aja, selama dikerjain professional, kepala lo aman, gaya lo naik.





Comments