Source: Instagram @putraalvin__/@itsyacko, @mattermos
Street culture bukan cuma soal apa yang lo pakai. Ini soal kebiasaan, ruang, dan cara orang saling mengenali. Gue ngobrol bareng Yacko dan Matter Mos buat bahas santai soal itu. Bukan soal lagu atau panggung. Intinya gini: gimana culture jalanan ini hidup dan kenapa itu lebih dari gaya doang.
Tujuan tulisan ini simple. Buka pintu obrolan tentang street culture dan hip hop culture di Indonesia. Bedah estetika, ruang fisik, komunitas, ekonomi kreatif, dan ketegangan antara otentisitas dan komersialisasi.
Obrolan sama Yacko dan Matter Mos akan memberi gambaran yang terasa personal namun relevan untuk scene di banyak kota. Scroll terus ke bawah ya buat tau isi ‘tongkrongan’-nya!
Street Culture di Indonesia

Source: Instagram @itsyacko
Street culture di Indonesia tumbuh sebagai hasil pertemuan antara referensi global dan konteks lokal. Dari era 90an ketika musik, film, dan majalah luar masuk ke kota besar, sampai munculnya distro dan skatepark di awal 2000an, kultur jalanan berkembang secara organik.
Tapi penting dicatat ini bukan sekadar niru. Banyak elemen diadaptasi dengan bahasa, motif lokal lokal, dan rasa kotanya juga.
Yacko ngasih gue penjelasan yang cukup detail soal ini. “Karena adanya akulturasi dengan kearifan local. Beberapa elemen street culture yang biasa ditemui di US might not be relevant here,” tegas Yacko. “Misalnya dari sisi cypher dan freestyle rap atau street dance, biasa ditemuin spontan di sudut-sudut taman atau kota di sana.”
“Saat di Indonesia, itu belum tentu bisa spontan juga terjadinya. Kalopun ada, yang muncul adalah pengamen jalanan. Di sana musik diputar dengan boombox dan ada block party, di Indonesia ada sound horeg. Hahaha!” canda Yacko.
Beda Negara, Beda Juga Taste-nya!

Source: Instagram @mattermos
Matter Mos juga punya teori soal perbedaan antara street culture global dan dengan di Indonesia. Intinya kurang lebih, ketika budaya itu nyampe ke Indonesia, ya outputnya juga pasti jadi beda.
“Graffiti mungkin lahir dari New York, tapi pas nyampe sini pasti ada special flare dari artist lokal, bisa aja inspirasinya bukan dari graffiti luar aja, tapi [missal] dari ukiran Jawa, atau bahkan spanduk politik jalanan, etc. We adapt and expand,” jelas Matter Mos.
“Konteks kultur kita juga beda, gak ada pistol men di sini. Hahaha! Di New York, street culture rooted sama survival and territory. Kalo di sini lebih kayak: ‘ini suara gue, ini jiwa kota gue, atau ini style gue’. Walaupun di sini free speech agak dibatesin yah, jadi gak bisa se-expressive dan sebebas itu.” Lanjutnya.
Matter Mos juga ngeliat kalau di Indonesia tuh banyak yang bikin karya bersifat sementara. Soalnya yaa gitu, masih berkutat sama aturan. “Gue sering liat banyak yang bikin karya yang sifatnya sementara, pake subliminal message, terus akhirnya abadi di sosmed sebelum dihapus. Lol!” tutur Matter Mos lagi.
Gimana dengan Streetwear Lokal?

Source: Instagram @itsyacko/@abykto
Obrolan gue dengan Yacko dan Matter Mos berlanjut ke ranah fashion. Yacko ngomong kalau fashion mainin peran penting dalam membentuk pride sebuah komunitas. “Contohnya di 17 Agustus 2025 lalu ada komunitas snapback bernama Indonesia Caps Club (ICC) yang collabs dengan New Era buat ngerilis koleksi topi terbatas bernama ‘Bones’.”
“Wah, ini pecah sih! Mereka berhasil membuat sejarah karena ini pertama kalinya New Era kerja sama dengan komunitas. Sold out dalam waktu yang sangat singkat. Kalaupun ada di jual di reseller dengan harga yang sangat tinggi,” kenang Yacko.
Matter Mos juga gak mau kalah nyeritain pengalamannya. Doi cerita soal kolaborasinya dengan salah satu brand lokal. “Recently this guy @rszny (pemilik @fortalentedwankers) dan dia bikinin customized leather jacket for me. It’s so meaningful, soalnya di belakangnya ada logo gue, which is so cool!” kata Matter Mos.
Selain ngomongin streetwear, Yacko dan Matter Mos juga ngobrolin soal tempat-tempat yang buat scene mereka hidup. Yacko milih daerah Blok M dan beberapa tempat keren. “Lo bisa nemuin banyak fashion, local bar, local food. Geser dikit ada Krapela di mana skena musik gravitated.”
“Skate Park juga lumayan hidup, seperti yang ada di Slipi. Grand Wijaya punya Space Jakarta, yang juga jadi hub dari berbagai skena dalam membuat exhibition dan event. Overall, gue pikir kita butuh lebih banyak public spaces dengan graffiti atau mural di belakang kayak M Bloc mungin, yang akhirnya jadi pusat pertemuan berbagai skena,” lanjutnya.
Kalo dari Matter Mos sih gini: “I don’t wanna speak on behalf of everybody, but di barat ada Westwew kan ya, di selatan ada Blok M. Tapi kayaknya buat sekarang sih yang everybody from every scene seem to be gravitated di Krapela yah.”
“Suka banget gue kalo ada satu tempat yang bisa diisi sama berbagai macam musisi, dan Krapela adalah salah satu tempat penting buat musik yang kita punya sekarang. Kalau kata temen gue, Krapela singkatannya ‘kerajaan pelaku skena’. Lol!” ucapnya bercanda.
Cara Ngejaga Ruang Ini Tetap Hidup

Source: Instagram @mattermos
Sustainability itu penting, bro. Tentunya biar skena dan ruang kreasi lo bisa tetap hidup selama mungkin. Yacko nge-spill dikit tipsnya. “Dengan tetap make ruang-ruang tersebut sebagaimana fungsinya, dan mengeksplorasi possibility ruang-ruang tersebut bisa dikaryakan lebih dari fungsinya.”
“Misalnya nih, dengan bikin event yang berkolaborasi dengan komunitas lain dan mungkin ngelibatin warga lokal. Atau bikin suatu movement yang berkontribusi pada warga dan lingkungan sekitar. Dananya bisa dar crowd yang dating atau dari brand sponsor,” lanjut Yacko.
Dan tentunya, seperti yang Matter Mos bilang, duit tetap megang peran penting. “Seniman juga butuh makan, tapi gak cukup cuma cash flow doang. Ruang hidup karena orangnya hadir – nongkrong, bikin acara kecil, ngejaga vibe bareng.”
“Plus gue rasa kontribusi dari negara juga bisa ngebantu ya, kayak di Korea Selatan tuh, as long as they allow us to speak our truth, ngasih free speech,” tutupnya.

-medium.jpg)


Comments